Isu perselingkuhan telah lama menjadi momok dalam setiap relasi, meninggalkan luka mendalam dan pertanyaan tanpa jawaban. Seringkali, fenomena ini hanya dilihat dari kacamata moral, emosi, atau bahkan gosip semata, yang justru mengaburkan pemahaman kita tentang akar permasalahannya.
Akibatnya, upaya pencegahan atau penanganan seringkali terjebak pada solusi yang tidak efektif, berulang, atau hanya menyentuh permukaan saja.
Bagaimana jika kita mencoba melihat perselingkuhan bukan hanya sebagai ‘dosa’ atau ‘pilihan buruk’, melainkan sebagai perilaku kompleks yang dapat dipahami melalui kacamata sains?
Peran Gender dalam Dinamika Perselingkuhan
Secara spesifik, analisis berdasarkan perbedaan jenis kelamin diperoleh hasil bahwa pria menunjukkan aktivasi lebih besar daripada wanita pada bagian amigdala dalam menanggapi perselingkuhan seksual.
Pria juga menunjukkan aktivasi yang lebih besar di area insula, hipokampus, dan hipotalamus dalam menanggapi perselingkuhan emosional. Amigdala dan insula adalah simpul sentral dalam pemrosesan emosi negatif, ketakutan, dan jijik (Calder).
Aktivasi otak tersebut sebenarnya berkaitan dengan sistem hormon seperti testosteron. Reseptor testosteron di otak tersebut (terutama di daerah amigdala dan hipotalamus) terlibat dalam perilaku seksual manusia (Giammanco).
Hormon testosteron memiliki kaitan dengan area otak (amigdala dan hipotalamus) melalui reseptor vasopresin, yang kemudian memengaruhi preferensi seseorang dalam memilih pasangan hidup.
Dalam konteks perselingkuhan, studi menunjukkan adanya perbedaan respons otak antara pria dan wanita. Wanita cenderung menunjukkan aktivitas otak yang lebih tinggi di area kortikal dan talamus, baik saat merespons perselingkuhan fisik maupun emosional.
Secara lebih spesifik, respons otak wanita (terutama di area pSTS) terhadap perselingkuhan emosional jauh lebih besar dibandingkan pria. Hal ini mengindikasikan bahwa wanita mungkin memiliki kepekaan neurobiologis yang lebih tinggi terhadap aspek emosional dalam ketidaksetiaan.
Posterior superior temporal sulcus (pSTS) ini terlibat dalam pendeteksian intensi, kecurangan, kepercayaan terhadap orang lain dan pelanggaran terhadap norma sosial (Heekeren).
Hal ini menguatkan hasil penelitian bahwa pria cenderung menunjukkan emosi negatif yang lebih besar dan sulit untuk memaafkan pasangannya yang berselingkuh secara seksual sedangkan wanita memiliki emosi negatif dan rasa jijik yang lebih tinggi dalam merespon perselingkuhan emosional.
Para peneliti menemukan adanya kecenderungan pria lebih tidak setia dibanding wanita, sebuah temuan yang banyak dijelaskan melalui teori evolusi. Perspektif ini mengemukakan bahwa pria dan wanita memiliki strategi reproduksi berbeda: pria cenderung mencari banyak pasangan untuk memaksimalkan penyebaran gen, sementara wanita lebih berorientasi pada hubungan tunggal.
Hal ini dikarenakan investasi reproduksi wanita yang jauh lebih besar, meliputi pembuahan, kehamilan sembilan bulan, hingga laktasi, sehingga tidak ada keuntungan evolusi signifikan bagi mereka untuk berselingkuh.
Dorongan Biologis di Balik Perselingkuhan
Seseorang melakukan perselingkuhan pada dasarnya juga terkait dengan proses biologis di dalam tubuh dan otak. Sebuah penelitian yang dilakukan Garcia menunjukkan bahwa mereka yang memiliki versi alel yang panjang pada reseptor dopamin D4 cenderung melaporkan bahwa mereka pernah berselingkuh dari pasangan mereka di masa lalu, baik pria maupun wanita.
Variasi genetik khusus yang terjadi pada reseptor D4 ini berpotensi lebih mungkin terjadi pada mereka yang sering berperilaku curang. Dopamin merupakan neurotransmiter yang terkait dengan kesenangan.
Berselingkuh bisa sangat menyenangkan karena melibatkan peningkatan level pencarian sensasi atau sensation seeking perilaku yang mengaktifkan reward circuit otak (Peterson).
Perilaku tersebut memicu pelepasan dopamin dari sirkuit ini, yang tidak hanya menyampaikan rasa senang tetapi juga memberi tahu otak bahwa perilaku tersebut adalah suatu pengalaman penting yang perlu diingat dan diulang.
Oleh karena itu, beberapa orang yang sering berselingkuh dalam hubungannya di masa lalu cenderung untuk berselingkuh dalam hubungannya di masa depan. Selain itu, level hormon testosteron juga berperan dalam perilaku berselingkuh ini.
Seseorang yang berselingkuh dari pasangannya cenderung memiliki kadar testosteron yang lebih tinggi daripada mereka yang tetap monogami atau setia pada satu pasangan (Klimas). Namun, ini bukan berarti bahwa semua orang yang memiliki kadar testosteron yang tinggi sudah pasti berselingkuh karena ini bersifat korelasional bukan kausal
Pengaruh Sosial Budaya dan Ekonomu terhadap Perilaku Selingkuh
Jika dilihat dari konteks sosial budaya, beberapa peneliti mengusulkan bahwa perbedaan gender ini juga merupakan cerminan dari perbedaan struktural dalam posisi sosial ekonomi pria dan wanita. Dalam konteks budaya tradisional, wanita memiliki lebih sedikit peluang dibandingkan pria untuk mendapatkan status, sumber daya, dan keamanan dalam mengejar karier.
Pilihan terbaik untuk seorang wanita guna mendapatkan posisi sosial ekonomi yang diinginkan adalah dengan menarik pria yang memiliki kekuatan dan status sosial yang tinggi untuk membentuk hubungan yang stabil (Buller). Maka ketika wanita menjadi korban perselingkuhan beberapa akan memaafkan pasangannya dan tetap mempertahankan hubungannya karena alasan ekonomi.
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa perselingkuhan yang dilakukan wanita akan terjadi apabila wanita mendapatkan sumber daya dan kekuatan secara independen, karena dengan begitu mereka tidak lagi bergantung pada pasangannya untuk mendapatkan kekayaan dan status.
Temuan Lammers memperkuat bahwa wanita dalam posisi yang memiliki kekuatan dan status yang tinggi cenderung terlibat dalam perselingkuhan seperti halnya pria dalam posisi yang sama. Lebih jauh, faktor sosial ekonomi dapat dimoderasi dengan gender sebagai salah satu faktor risiko seseorang terlibat dalam perselingkuhan (Munsch).
Respons terhadap perselingkuhan pasangan menunjukkan perbedaan signifikan antara pria dan wanita. Saat dihadapkan pada skenario ketidaksetiaan, pria cenderung lebih terpukul oleh perselingkuhan seksual, sementara wanita lebih terganggu oleh perselingkuhan emosional.
Dampak Neuropsikologis Perselingkuhan: Otak dan Kesehatan Mental
Jika ditinjau dari segi aktivasi otak, ditemukan bahwa pria dan wanita menunjukkan pola aktivasi otak yang berbeda baik dalam perselingkuhan seksual maupun perselingkuhan emosional.
Umumnya, ketika dihadapkan pada perselingkuhan seksual, area korteks visual di otak pria dan wanita menunjukkan aktivitas yang meningkat. Menariknya, saat merespons perselingkuhan emosional, tidak hanya korteks visual, tetapi juga talamus turut aktif pada kedua gender.
Fenomena ini, seperti yang diungkap oleh Takahashi, mengindikasikan bahwa stimulus yang secara emosional kuat memiliki kemampuan untuk memengaruhi bagaimana korteks visual memproses informasi sensorik. Dengan kata lain, emosi yang intens dari perselingkuhan memodifikasi cara otak melihat dan memahami situasi tersebut
Korteks visual menerima proyeksi umpan balik dari struktur limbik otak dan pathway atau jalur tersebut dapat meningkatkan pemrosesan visual (Vuilleumier).
Fenomena Cyberaffair: Perselingkuhan Online
Lebih lanjut, laju perkembangan teknologi yang memengaruhi pola komunikasi manusia juga menjadi tantangan baru untuk sebuah hubungan romantis yang sedang dijalani seseorang.
Seiring perkembangan internet, kemudahan berinteraksi secara daring telah membuka pintu lebar bagi individu untuk menjalin berbagai koneksi, tak terkecuali hubungan pribadi yang dapat berujung pada perselingkuhan, sebuah fenomena yang kini kian umum (Abbasi).
Melakukan perselingkuhan secara online ini kemudian disebut dengan istilah cyberaffair, hubungan romantis dan/atau seksual yang dibangun secara online dan dilakukan melalui beberapa bentuk kontak virtual (Cravens).
Energi dan waktu ketika seseorang berselingkuh akan terbagi sehingga seringnya pelaku perselingkuhan mulai mengabaikan hubungannya dengan pasangan utamanya dan mengganggu stabilitas serta kualitas hubungan utama (Abbasi).
Sebuah studi yang dilakukan oleh McDaniel memperkirakan bahwa 5-12% dari pelaku cyberaffair memiliki tingkat kepuasan hubungan yang rendah, ambivalensi hubungan, dan kecemasan akan keterikatan dengan pasangan utama.
Cyberaffair menjadi hal yang mengkhawatirkan mengingat meningkatnya penggunaan internet di Indonesia yang di dalamnya mencakup juga penggunaan media sosial. Di Indonesia, fenomena cyberaffair atau perselingkuhan yang dimediasi oleh internet menjadi isu yang semakin relevan. Hal ini tak lepas dari fakta bahwa Indonesia adalah salah satu negara dengan populasi pengguna media sosial terbesar di dunia, dan diperkirakan terus meningkat
Namun, ironisnya, pemahaman atau penelitian mengenai keterkaitan antara penggunaan internet dan kasus perselingkuhan di Tanah Air masih sangat minim. Kondisi ini mengindikasikan adanya kebutuhan mendesak untuk eksplorasi dan riset lebih lanjut demi memahami dimensi baru dari ketidaksetiaan di era digital.
Pemulihan Pasca Selingkuh, Terapi Berbasis Sains untuk Mmemulihkan Hubungan yang Terluka
Jika perselingkuhan telah terjadi, pertanyaan bukan lagi ‘mengapa’, melainkan ‘bagaimana pulih?’ Sains menawarkan jalan untuk rekonstruksi hubungan.
1. Perselingkuhan sebagai trauma relasional, dipahami dan ditangani layaknya trauma, memicu respons emosional dan psikologis yang intens pada korban.
2. Peran terapi pasangan berbasis bukti, melibatkan metode seperti Emotionally Focused Therapy (EFT) atau Gottman Method Couple Therapy. Tujuannya membantu pasangan mengurai konflik, memproses emosi, dan membangun kembali koneksi yang rusak.
3. Pentingnya akuntabilitas & penyesalan sebagai landasan awal pemulihan. Pihak yang tidak setia harus menunjukkan penyesalan tulus dan bertanggung jawab penuh atas tindakan mereka untuk mulai membangun kembali kepercayaan.
4. Pemrosesan emosi & rekonstruksi Kepercayaan, terapi memfasilitasi ekspresi rasa sakit, kemarahan, dan kebingungan secara sehat. Secara bertahap, kepercayaan dibangun kembali melalui konsistensi, transparansi, dan komitmen yang berkelanjutan.
5. Fokus pada pertumbuhan: Proses ini bertujuan tidak hanya untuk kembali seperti semula, tetapi seringkali untuk menciptakan hubungan yang lebih kuat, kokoh, dan lebih sadar setelah menghadapi krisis.
Membangun Kesetiaan: Strategi Pencegahan & Penanganan Berbasis Sains
Secara ilmiah, pencegahan perselingkuhan bergeser dari moralitas ke intervensi berbasis bukti yang menargetkan kualitas hubungan. Pasangan dengan koneksi emosional kuat, komunikasi memuaskan, dan komitmen tinggi cenderung lebih resisten. Riset Gottman menyoroti ‘Empat Penunggang Kuda Apokalips’ (kritik, pembelaan diri, penghinaan, stonewalling) sebagai prediktor ketidaksetiaan, menegaskan efektivitas terapi pasangan dalam memperkuat ikatan.
Pencegahan juga mencakup pemahaman kerentanan individu (misalnya, attachment styles) dan faktor situasional (kesempatan, media sosial). Teori Segitiga Perselingkuhan oleh Shirley Glass turut menjelaskan pemicu ini. Strategi pencegahan melibatkan penguatan hubungan, kesadaran diri akan pemicu personal, dan penetapan batasan sehat.
Melihat perselingkuhan secara keilmuan bukan untuk menghakimi, namun untuk memahami, kita diberdayakan untuk mengidentifikasi akar masalah dan menerapkan solusi teruji demi hubungan yang lebih sehat dan kuat.
Ref: Buletin Psikologi, 2021




